Gizi Generasi Televisi

Ini adalah judul tulisan dari dr. Tan Shot Yen, dokter yang mungkin dikenal oleh sebagian orang karena pernah tampil di acara Padamu Negeri, tayangan Metro TV yang mengupas persoalan Susu Formula, bersama dr. Utami Roesli. Di luar itu semua, saya baru tahu kalau beliau ini seorang mahasiswa pasca sarjana, di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Berikut kutipan artikel beliau, yang bisa Anda baca langsung dari sini.

Kepentingan komersial meluluhlantakkan aspek moral dan pelayanan yang bersifat lege artis (sesuai dengan keprofesian). Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah adalah fenomena terpentalnya pemerintah sebagai penyelenggara public service dalam kinerja infrastruktur, untuk lalu terperangkap dalam laissez faire. Horornya: privatisasi dianggap dengan sendirinya “meningkatkan kualitas”. Caranya, biarkan rumah sakit saling bersaing termasuk menjejalinya dengan alat kesehatan berteknologi canggih yang mengakibatkan biaya pelayanan melonjak. Ke mana akan pergi si miskin busung lapar?

Sudut pandang filsafat yang sangat kental dalam tulisan ini, mengingatkan saya dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Bukankah pelopor kebangkitan nasional adalah para dokter? Selain karena mampu melihat bangsa ini dari kaca mata kecerdasan yang berbeda dengan orang pribumi lainnya waktu itu, saya kira perannya sebagai dokter membawa pengaruh cukup besar. Banyak nilai kemanusiaan disana, juga nilai-nilai sosial.

Uhm... Sementara dimana dokter kita sekarang? Dokter adalah profesi yang didambakan setiap orang tua, untuk anaknya. Karena menjadi dokter adalah jaminan masa depan, mampu menghasilkan pendapatan yang cukup besar. Untuk bisa sekolah menjadi dokter juga mahal, setimpal dengan ongkosnya nanti ketika sudah praktek.

Kalau membaca teks Ivan Illich, salah seorang tokoh pendidikan yang cukup radikal, masyarakat perlu dibebaskan dari belenggu sekolah, karena salah satunya membuat kehilangan percaya diri. Semua harus percaya dengan dokter, karenanya kalau kita mencoba mengobati diri sendiri, seolah-olah itu adalah percobaan pembunuhan terhadap presiden, atau perbuatan makar. Luar biasa.

Seorang Dokter, dengan ilmu yang dimilikinya, sudah seharusnya dilengkapi dengan nilai-nilai kemanusiaan itu. Tanpa nilai-nilai yang mendasar itu, maka dokter adalah penindas sejati. Begitu pula institusinya, Rumah sakit. Ketika orang awam masuk ke rumah sakit, maka ia menyerahkan sepenuh hidupnya disana. Tidak seharusnya dokter, atau tenaga kesehatan lain di dalamnya, justru menjerumuskan si pasien ke dalam jeratan kapitalis.

Ini adalah penutup dari dr. Tan yang sangat menarik.

Komersialisasi di era global adalah soal biasa. Tetapi ketika melibatkan jenis pangan dan pelayanan kesehatan paling dasar, apalagi menyangkut hidup mati orang, komersialisasi adalah sebuah kriminalitas.

Semoga masih banyak dokter yang berpandangan seperti ini.

Bahaya Pemberian Susu Formula (1-5)

Video dokumenter mengenai bahaya promosi susu formula dan pemberian susu Formula di Filipina. Lihat juga berita tentang angka menyusui di Filipina.

Video-1


Video-2



Video-3


Video-4


Video-5

Perda ASI & Hak Perempuan

Perdebatan soal Perda ASI yang saya sendiri belum tahu isinya, memang serasa membicarakan kucing dalam karung. Kasus rancangan Perda ASI di Makassar yang sempet bikin heboh ini, 'katanya' mewajibkan ibu untuk menyusui. Kalau tidak menyusui artinya melanggar aturan. Kalau Perda ini kita mau persepsikan sebagai "keharusan menyusui yang kalau tidak ditaati, maka ibu-ibu akan dapat sanksi", maka ini akan jadi kompleks. Yang saya tahu, dari kasus Klaten misalnya, Perda ini akan mendorong semua tempat bekerja (kantor) maupun fasilitas publik menyediakan ruang untuk Ibu menyusui. Berikut kutipannya:

Menurut Roni, dalam draf peraturan ini diusulkan seluruh fasilitas umum harus menyediakan ruangan khusus untuk ibu menyusui sehingga pemberian ASI tetap bisa dilakukan. Selama ini banyak ibu yang terpaksa menunda pemberian ASI karena terganjal aktivitasnya atau pekerjaannya.

*Berita lebih lengkap, silakan periksa disini.

Baik Ibu dan Bayi punya hak asasi. Logikanya sama dengan kebebasan berbicara. Siapapun punya hak bicara, tetapi semua orang juga punya kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Antar hak tidak boleh saling konflik, karena kalau terjadi begitu, kekacauan hasilnya. Ibu memang punya hak menentukan apakah ia akan menyusui atau tidak, itu memang hak asasi si Ibu. Di sisi lain, Konvensi Hak Anak Pasal 24 menyatakan bahwa anak (atau bayi) berhak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat diadakan.

Kalau mau sedikit "gothak-gathuk", maka Pasal 24 ini menyatakan dengan jelas bahwa bayi punya hak untuk menyusu, karena ASI adalah asupan terbaik bagi bayi baru lahir, yang menentukan kelangsungan hidupnya kelak. Nah, ada hak Ibu, ada hak bayi. Maka pemerintah dengan Perda-nya pun tidak boleh melanggar hak para Ibu dan hak para bayi.

Masalahnya, dari siapa hak anak ini akan terwujud? Apakah harus dari Ibu Kandungnya? Nah, disini mungkin wilayah "abu-abunya." Kita mengenal istilah saudara "sepersusuan", karena bahkan dari jaman para nabi, kegiatan menyusu sudah berlangsung, dan tidak harus dari Ibu Kandungnya. Saya tidak tahu persis bagaimana ceritanya dalam kisah-kisah para nabi, tapi peristiwa itu ada. Mungkin juga karena si Ibu menderita penyakit tertentu yang menyebabkannya tidak mungkin menyusui. Tapi pada dasarnya, Hak anak bisa terpenuhi.

Yang paling esensial dari hal ini, menurut saya adalah hak hidup si anak. Dia berhak mendapat kehidupan yang layak di muka bumi ini. Dan itu sudah diatur oleh banyak sekali Undang-undang, yang juga masih belum banyak faedahnya di lapangan. Masih banyak anak jalanan, anak kurang gizi, dan seterusnya.

Jadi, santai saja soal kemana arah Perda ASI ini akan bergulir. Lha wong konvensi internasional aja masih suka dilanggar kok :D Akan ada perbaikan-perbaikan, jadi apapun hasilnya masih bisa dikritisi. Tapi saya setuju satu hal, bahwa ASI memang bukan milik negara, tapi milik (baca: hak) para bayi tak berdosa -yang sayang sekali- tidak bisa menuntut hak-nya untuk mendapat yang terbaik untuk dirinya.

Hanya kitalah yang bisa.

Update:
  1. The war on breasts: Where feminism and motherhood are forced to do battle
  2. Breast isn't always best

ASI Kurang?

Banyak sekali yang beranggapan ASI kurang adalah jumlah produksi ASI si Ibu tidak mencukupi untuk si bayi. Padahal belum tentu demikian. Ada beberapa hal yang seringkali salah kaprah, dalam hal ini adalah pemahaman mengenai Perlekatan (Latch-on), yaitu situasi menempelnya mulut bayi pada payudara Ibu pada saat menyusu. Kalau posisi perlekatan ini salah, maka bayi akan terus kelaparan, karena ASI yang diterimanya tidak dalam jumlah yang optimal.

Gambar di sebelah kiri, adalah perlekatan yang salah, mulut si bayi hanya menempel pada puting si ibu. Haarusnya, seperti gambar sebelah kanan, mulut bayi menempel di sebagian besar wilayah areola payudara ibu. Kalau posisi perlekatan salah, ibu bisa jadi menderita. Kalau demikian, kegiatan menyusui akan menjadi berat untuk dilakukan. Akhirnya, produksi ASI terganggu, karena ASI jadi jarang 'keluar' dari payudara Ibu. Nah jadi repot kan kalau sudah begini?



Coba perhatikan video di atas. Kalau payudara hanya dipencet di bagian puting, maka tidak akan ada ASI yang keluar. Makanya, bayi harus menempel hingga ke areola, bagian hitam di sekeliling puting, agar bayi dapat menyusu dengan lancar. Uhm... menyusu aja kok repot ya... :D
Sebenarnya sih ngak juga, tapi karena kita semua sudah lupa dengan hal-hal se praktis ini. Aneh juga, hal-hal yang sangat alami seperti ini harus diajarkan dulu di bangku sekolahan...

Berikut ada 4 video bersambung, nemu dari Youtube, mengenai tanda-tanda apakah bayi sudah menyusu dengan benar. Silakan menikmati!

Video-1


Video-2


Video-3


Video-4

Benarkah Data Statistik ini?

childinfo.org

Agak mencengangkan ketika melihat data statistik yang dikeluarkan UNICEF, berdasarkan data tahun 1997 ini. Benarkah prosentase Ibu-ibu yang memberikan ASI Eksklusif 4 bulan di negeri kita mencapai 51,9 persen? Hebat bener yah?
Coba deh tengok angka statistik ini!
Atau download datanya dalam format Excel, disini.

Krisis Minyak Dunia & Air Susu Ibu

Halah! Apa hubungannya pula krisis minyak dunia dengan ASI, atau tepatnya Kampanye ASI? Hehehe... Gagasan setengah gila ini tercetus setelah diskusi panjang lebar ketika harus mengembangkan sebuah manual/modul tentang IMD dan ASI Eksklusif.

Awalnya, modul ini akan diisi seputar IMD, ASI-X, MP-ASI, dan Imunisasi. Lalu ketika membangun mindmap-nya, baru terbayang bahwa ini semua ujung-ujungnya adalah peningkatan kualitas manusia, dari sisi tumbuh-kembangnya sejak kecil, bahkan sejak lahir. Bukan sekedar crash-program yang ingin meningkatkan peluang hidup si bayi dengan IMD dan ASI-X, tetapi lebih dari itu, membangun kembali generasi bangsa. Weleh-weleh...

Bagaimana tidak? Dengan IMD & ASI-X, ada bukti ilmiah mengenai peningkatan kecerdasan. Lalu ada bukti mengenai tingkat kekebalan (bukan 'kebebalan' ya... :D) tubuh dari serangan penyakit. Belum lagi dari sisi psikologis, membangun pribadi anak yang tumbuh diantara kasih sayang ayah bundanya.

Lha, kok kalah prioritas sama BBM? Lha iya pasti. Di tengah gelombang krisis yang tampaknya akan semakin tinggi dan ganas, jalan keluar yang paling masuk akal adalah kembali ke asal. ASI adalah salah satunya, dan mengembangkan MP-ASI dengan bahan lokal adalah bagian lainnya.

Imunisasi? Kalau bisa dikurangi, bahkan dihapuskan, rasanya ingin menghapuskan berbagai macam imunisasi yang lama-lama makin gak jelas juntrungannya. OK lah untuk beberapa hal yang memang krusial, tapi kalau udah semakin nggak jelas tujuannya, lama-lama makin kesel juga. Ini mau melindungi bayi atau mau jualan obat?

ASI dan MP-ASI lokal jelas strategis untuk mematahkan mitos segala instan yang katanya 'lebih terjamin' gizinya. Kalau bisa, dengan mengembangkan kebun sendiri di pekarangan atau pot-pot sekitar rumah, maka banyak sekali penghematan yang bisa dilakukan, secara konkrit. Pikirkan mereka yang sekarang saja mulai mengurangi jatah makan karena mahalnya bahan pokok. Artinya, makanan bergizi nan murah bisa tersedia, tanpa harus berbelanja ke pasar atau toserba. Tidak hanya untuk bayi, tapi juga seluruh anggota keluarga.

Ini sebuah tindakan strategis, dan dampaknya jangka panjang. Peningkatan gizi keluarga, bisa diwujudkan tanpa embel-embel logo program atau seremonial oleh pejabat. Kita jadi tidak perlu khawatir mengenai tingginya harga minyak, karena mungkin hanya berdampak pada gaya hidup konsumtif kita. Jalan keluarnya, STOP pola itu. Lagian nggak bikin gatel-gatel khan, kalo nggak jalan-jalan ke mall 1 tahun?

Pranala yang berhubungan:
MP-ASI kreasi sendiri

ASI Terbukti Meningkatkan IQ Anak

Cuma sekedar meneruskan artikel menarik di internet. Mungkin bukan hal baru lagi, tapi semoga lebih meyakinkan para orang tua untuk memberi yang terbaik bagi putra-putrinya. Dan masih seperti yang dulu, ASI tampaknya tetap yang terbaik.

Penelitian terhadap hampir 14.000 anak ini adalah yang terbaru dari serangkaian laporan yang menemukan kaitan positif ASI dan kecerdasan. Jika penelitian sebelumnya masih sulit membedakan faktor yang berperan terkait dengan kebiasaan menyusui di kalangan ibu dari keluarga yang lebih makmur, dan apakah keadaan sebuah keluarga menjadi faktor sebenarnya yang menentukan pembentukan kecerdasan anak.

Penelitian yang baru ini memasukkan faktor tadi dengan mengikuti perkembangan anak-anak yang lahir sejumlah rumah sakit di Belarus, yang meluncurkan kampanye ASI. Hasilnya, mereka menemukan bayi-bayi yang diberi ASI saja selama tiga bulan pertama - banyak diantaranya juga mendapat ASI sampai 12 bulan - mencapai angka rata-rata 5,9 dalam tes IQ.

Silakan baca sendiri linknya disini.