Kompas: Kuncinya, Kepedulian Orangtua

Dari Kompas Cetak, ada artikel menarik menjelang Hari Gizi. Ditulis oleh Oleh LUKI AULIA, terbit hari Senin, 4 Januari 2010 | 03:19 WIB.

”Ayo ibu-ibu! Jangan tidur-tiduran saja di rumah. Tanam sayur-sayuran di kebun. Pisang setandan jangan dimakan sendiri ya,” begitu seruan Katherine Mera, kader posyandu dari Kecamatan Lasiola, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, yang memancing tawa dan tepuk tangan puluhan orang. luki aulia Senyum pun tersungging di bibir para juri di hadapan Mera, salah satu peserta lomba penyuluhan di acara ”Jambore Kader PKK dan Posyandu Kabupaten Belu” di halaman rumah dinas Bupati Belu, Desember lalu. Mendapat sambutan meriah, Katherine Mera lega dan tersenyum lebar.

Sesuai tema yang didapat, Khaterine Mera harus menyampaikan materi penyuluhan mengenai gizi. Meski dengan terbata-bata dan sesekali terdiam karena lupa, pesan yang disampaikan Mera jelas. Orangtua, terutama kaum ibu, harus peduli dan memerhatikan kebutuhan gizi untuk dirinya, terutama anaknya, dengan mengolah bahan pangan yang tersedia dengan sederhana, tetapi kreatif. Tidak perlu makanan berbahan mahal, seperti daging, ayam, atau telur, yang penting kandungan gizinya seimbang. Bisa saja memasak jagung, ubi, sayur bayam, dan sup dengan lauk tempe atau tahu.

Kepedulian orangtua menjadi faktor penentu kondisi gizi anak. Bahan makanan yang berlimpah di rumah tidak akan ada gunanya jika tidak diolah dengan baik oleh ibu atau anggota keluarga yang lain. Apabila ini terjadi, tak heran jika anak mengalami kekurangan gizi, bahkan gizi buruk. Apalagi jika anak hanya diberi makanan seadanya atau malah makanan ringan untuk menipu perut agar kenyang.

”Gizi buruk terjadi karena anak kurang perhatian dari orangtua. Anak telantar dan kebutuhan gizi tidak diperhatikan karena orangtua lebih sering di kebun. Bukan karena tidak ada makanan di rumah,” kata Rambu, bidan di Puskesmas Wedomu, Desa Manleten, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu.

Tidak sadar

Orangtua kerap tidak sadar anaknya kekurangan gizi karena, kata Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Belu Theresia MB Saik, anak yang kekurangan gizi masih bisa beraktivitas normal dan lincah sehingga mereka kemudian ditinggal ke kebun dan dititipkan kepada saudara, orangtua, atau mertua. ”Setiap ibu pasti ingin anaknya sehat, tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang sulit dia harus ikut membantu mencari nafkah. Perhatian kepada anak jadi berkurang, termasuk bagaimana memasak dan memberi makan yang tepat,” kata Theresia.

Pola perilaku pemberian makan kepada anak, terutama pasca-ASI eksklusif 0-6 bulan, penting karena usia 2-3 tahun termasuk masa kritis rentan gizi buruk. Pada umumnya kondisi gizi anak usia 6 bulan hingga 1 tahun masih bagus, tetapi setelah berusia satu tahun biasanya banyak yang kekurangan gizi. ”Di atas 1 tahun biasanya ASI mulai kurang, sementara makanan tambahan tidak memadai asupan gizinya,” kata Theresia.

Untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya yang berusia 8 bulan, Meriana (36) membuat bubur, sayur bayam, dan pisang sebagai makanan tambahan pendamping ASI. Pekerjaan suaminya yang serabutan tidak memungkinkan keluarga itu membeli telur, apalagi daging yang harganya di atas Rp 60.000 per kilogram. Untuk menyiasati kebutuhan gizi anaknya, Meriana menanam sayur-sayuran, ubi kayu, dan pisang di kebun.

Minim pemahaman

Tidak diolahnya bahan makanan dengan baik, menurut ahli nutrisi Unicef, Sonia Blaney, karena minimnya pemahaman jenis makanan bergizi berikut cara mengolahnya. Sonia menekankan tidak ada hubungan antara gizi buruk anak dan faktor ketersediaan pangan karena sepanjang tahun 2008 tidak dilaporkan gagal panen, kekurangan bahan pangan, atau bencana alam di NTT.

Kepala Bagian Kesehatan Unicef Anne Vincent menambahkan, penyebab gizi buruk sangat kompleks, bukan hanya masalah kekurangan pangan. Akses pada bahan pangan, pelayanan kesehatan, dan pola perilaku pemberian makanan yang bergizi ikut berpengaruh.

”Ketiadaan ibu yang memberikan ASI dan menyiapkan makanan pendamping ASI karena sibuk bekerja di kebun serta minimnya kesadaran menjaga kebersihan diri dan lingkungan juga berpengaruh,” ujarnya.

Sayangnya, malnutrisi selama ini selalu diasosiasikan dengan tidak adanya makanan sehingga ketika terjadi malnutrisi, respons pemerintah setempat adalah meminta bantuan makanan. ”Dari temuan lapangan, anak kurang gizi meninggal bukan semata-mata meninggal karena kurang gizi, tetapi karena memang sudah sakit dan tidak ditangani dengan baik oleh tenaga kesehatan sehingga kondisinya makin buruk,” kata Anne.

Untuk mengurangi dan mengantisipasi gizi buruk, menurut ahli nutrisi Unicef Indonesia di NTT, Helena Seran Ndolu, metode yang digunakan tak bisa lagi hanya dengan penyuluhan, tetapi juga pendampingan sejak kehamilan, inisiasi menyusui dini (IMD), ASI eksklusif 0-6 bulan, dan pemberian makanan pendamping ASI.

”Kalau dengan penyuluhan saja, tidak akan ada perubahan perilaku. Ini perlu waktu. Tidak bisa cepat. Yang penting bidan atau tenaga kesehatan bisa sabar, tidak menyuruh-nyuruh, dan mau mendengar sekaligus menggali informasi dari masyarakat,” kata Helena.

Sumber co-pas:  Kuncinya, Kepedulian Orangtua