Hak Bayi "Dirampok" Pengusaha Susu Formula

Sabtu, 23 Agustus, 2003 oleh: Gsianturi

Bila Seorang Ibu Menyusui Bayinya, Ia (bisa) Berhemat Rp 300.000/Bulan.

Gizi.net - Hak bayi untuk mendapatkan kesehatan dan gizi yang memadai "dirampok" informasi susu formula (SF) dan iming-iming oleh produsen makanan bayi. Akibatnya, pemberian SF pada bayi yang semestinya mendapatkan air susu ibu (ASI) eksklusif menjadi gaya hidup saat ini. Berdasarkan survei tahun 1999, bayi di Indonesia rata-rata memperoleh ASI eksklusif 1,7 bulan.

Hal itu mengemuka dalam Semiloka Hasil Monitoring Pemasaran PASI di Indonesia tahun 2003 yang diselenggarakan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Badan Kerja Peningkatan Penggunaan ASI (BKPP-ASI Pusat), Kamis (21/8), di Jakarta.

Hadir sebagai pembicara Yeong Jookean dari International Baby Food Action Network (IBFAN), Ketua BKPP-PP ASI Pusat dr Dien Sanyoto Besar SpA, Direktur Pelayanan Medik dan Gigi Dasar Departemen Kesehatan dr Guntur Bambang SpM, serta Direktur Standarisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Ir Sri Irawati Susalit.

Yeong menilai, perdagangan susu bayi merupakan bisnis dengan keuntungan luar biasa. Setahun mencapai US$ 11 miliar. Padahal, bila seorang ibu menyusui bayi bisa menghemat uang sebesar Rp 300.000 setiap bulan. Selain itu dengan memberi ASI eksklusif selama enam bulan maka bayi cukup gizi. Secara global empat juta bayi meninggal pada bulan pertama. Dari jumlah itu 60 persen disebabkan kurang gizi.

Sayangnya, ujarnya, promosi produsen makanan bayi direncanakan sedemikian rupa untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Ini membuat pemasaran makanan pengganti ASI (PASI) tidak etis. Promosi yang menyesatkan membuat ibu menjadi percaya PASI lebih baik daripada ASI. Promosi juga gagal menjelaskan risiko yang muncul akibat penggunaan PASI yang salah.

Untuk mengatasi promosi yang menyesatkan itu disusun kode internasional tentang pemasaran PASI. World Health Assembly (WHA) pada 1981 menyebutkan, menyusui bayi harus dilindungi dan dipromosikan secara aktif di semua negara. Kemudian, WHA melakukan resolusi pada 1996 yang melarang suplai gratis PASI, tidak diperlukan SF lanjutan (tahun 1986), melarang sponsor pada tenaga kesehatan (1996).

"Indonesia mengadopsi WHA tahun 1981 tetapi tidak untuk resolusi berikutnya. Perangkat hukum di Malaysia dan negara lain lebih sederhana dibandingkan Indonesia, tetapi di Malaysia produsen PASI lebih mematuhi kode internasional. Kode internasional bukan konvensi yang ada sanksinya. Yang ada hanyalah sanksi moral bagi produsen PASI yang melanggar kode internasional," katanya.

Ajang Promosi
Pada kesempatan itu Dien memaparkan hasil monitoring pemasaran PASI di lima provinsi, yaitu DKI Jakarta, Depok (Jawa Barat), Surabaya dan Sidoarjo (Jawa Timur), Makassar, Gowa (Sulawesi Selatan), dan Solo (Jawa Tengah).

Monitoring dilakukan Maret sampai Juni 2003 oleh 22 pemantau. Monitoring merupakan survei kualitatif tentang ketaatan praktik promosi PASI terhadap Kode Internasional Pemasaran PASI beserta resolusi WHA yang terkait.

Ada 84 sarana pelayanan kesehatan (SPK) yang dimonitor, 79 tempat penjualan, 80 ibu yang diwawancarai, analisis label dan bahan komunikasi informasi edukasi (KIE). Hasil monitoring menunjukkan 16 perusahaan makanan bayi dan 15 perusahaan botol serta dot melanggar ketentuan.

Hampir semua SPK yang dimonitor menjadi tempat ajang promosi PASI. Bahan KIE, buklet, poster, kalender memuat logo perusahaan dan atau nama produk perusahaan. Selain itu, ujar Dien, ada produsen yang memberi hadiah untuk SPK berupa lemari es, televisi, lampu emergensi, uang tunai, papan nama di boks bayi.

Pemonitor juga menemukan ada ibu yang baru melahirkan menerima bahan promosi dari SPK. Tenaga kesehatan menerima hadiah misalnya Rp 20.000 untuk penggunaan susu tertentu untuk seorang bayi, sponsor untuk wisata, konferensi, hingga paket naik haji.

Di samping itu, ujar Dien, hampir semua SPK menerima suplai SF gratis, harga khusus atau harga normal secara teratur (1-2 bulan sekali). Ia menambahkan, beberapa label PASI masih berbahasa Inggris, Prancis. Bahan KIE dari berbagai perusahaan dipajang di semua SPK, di ruang bayi, ruang ibu maupun ruang tunggu klinik ibu dan bayi. Bahkan pada ruang menyusui.

"Perusahaan mencatat daftar nama, alamat, nomor telepon bayi baru lahir untuk memantau keberadaan si ibu dan bayi setelah meninggalkan rumah sakit. Bahkan beberapa perusahaan menyediakan layanan telepon bebas pulsa. Tidak itu saja, iklan di media cetak dan elektronik menyertakan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Marilah sadar atas ini semua. Maukah bayi-bayi kita menjadi botol semua?" kata Dien. (N-4)