ASI: Hak Anak, Kemandirian, dan Kekerasan terhadap Perempuan

Oleh: Neni Utami Adiningsih*

MUNGKIN ada yang bingung membaca judul di atas, mempertanyakan relasinya. Tentu saja ada, sangat erat malah. Berawal dari kenyataan bahwa kian hari semakin kerap terungkap kasus kekerasan terhadap perempuan baik secara verbal, fisik, seksual, juga ekonomi. Catatan Akhir tahun 2003, Mitra Perempuan mengungkapkan, umumnya kekerasan tersebut dialami oleh para istri. Ironisnya, 82,9 persen pelaku kekerasan adalah suaminya sendiri.

Banyak analisis yang menyimpulkan bahwa yang memperbesar kemungkinan terjadinya kekerasan terhadap istri adalah ketidakmandirian istri, terlalu bergantung kepada suami, terutama dalam hal ekonomi. Aktivitasnya di rumah, melakukan pekerjaan domestik, yang notabene tidak menghasilkan uang, memang membuatnya secara ekonomi sangat bergantung pada "kebaikan hati" suami.

Kondisi kebergantungan ini, ditambah lagi dengan budaya patriakhi yang masih sangat kuat membuat suami menjadi "begitu berkuasa". Dengan keadaan seperti itu, jangankan mengambil keputusan, berpendapat pun belum tentu istri mempunyai keberanian, sekalipun sebenarnya ia tidak setuju dengan keinginan suami.

Dengan dilatarbelakangi oleh pemahaman seperti itulah kemudian ramai disosialisasikan agar perempuan mempunyai kemandirian. Tentu ini bukan hal yang keliru. Permasalahannya adalah selama ini kemandirian perempuan diartikan sangat sempit, hanya diidentikkan dengan kemampuannya untuk menghidupi diri sendiri, kemampuannya untuk mencari uang.

Akibatnya, semakin banyak saja perempuan yang bekerja mencari uang. Bahkan data mutakhir menunjukkan, angka percepatan angkatan kerja perempuan sudah lebih tinggi daripada laki-laki, yaitu sebesar 5,5 persen sedangkan laki-laki hanya 3,7 persen.

Di sisi lain, kodrat perempuan adalah bisa hamil, melahirkan dan menyusui. Dengan kondisi di mana semakin banyak perempuan (termasuk yang sudah menjadi ibu) yang bekerja di ruang publik, semakin kecil juga kesempatan bagi mereka untuk menyusui (bukan sekadar memberi ASI dengan botol dot atau sendok!) anaknya secara eksklusif.

Data dari Prof Rulina Suradi, SpA (K) IBCLC, konsultan neonatology RSCM menunjukkan bahwa jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif tidak lebih dari dua persen dari jumlah total ibu melahirkan (Media Online, 3/8/04). Kondisi ini lebih rendah dari prediksi Unicef yang sekitar tiga persen. Rata-rata ibu menyusui anaknya hanya selama 1,7 bulan (Suara Karya, 22/8/2002). Tentu saja hal ini dapat mereduksi potensi anak baik dari segi fisik, intelektual juga psikis.

Hal ini tidak bisa dibiarkan, sebab telah melanggar hak anak. Aktivitas menyusui sesungguhnya adalah implementasi dari Konvensi Hak Anak -KHA- (Convention on the Rights of the Child) khususnya pasal 6 dan pasal 24 (2.a, 2.c), yaitu tentang upaya pemberian makanan yang terbaik, bergizi serta pengasuhan yang optimal. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA ini pada tanggal 25 Agustus 1990 (14 tahun lalu).


Pemahaman Baru

Seiring dengan makin menguatnya nuansa "kemandirian", semakin santer pendapat bahwa adalah hak asasi sang ibu, bila ia tidak mau menyusui anaknya. Benarkah pendapat ini? Tentu saja tidak.

Memang benar bila adalah hak asasi setiap perempuan untuk mau atau tidak mau mempunyai anak. Namun kalau kemudian ia memutuskan untuk memiliki anak, ia berkewajiban untuk menyusuinya, dan menjadi hak asasi bayi untuk mendapatkan ASI.

Bukankah ia (bersama suaminya) yang menginginkan bayi? Setiap orang dapat memberikan makanan/minuman pengganti ASI (PASI) kepada bayi, namun siapakah yang dapat menyusuinya selain ibunya? Selain itu tidak ada satu pun PASI yang mampu melebihi kualitas ASI baik dalam hal kelengkapan dan ketepatan komposisi, tingkat higienitas maupun dampak psikologis bagi anak.

Karena bayi tidak bisa protes, sekalipun ia tidak mendapatkan haknya atas ASI, maka menjadi tugas kita semua, terutama pemerintah, agar hal tersebut tidak terjadi. Berikut ini beberapa upaya yang dapat dilakukan.

Pertama, memperbaiki definisi "ibu bekerja", dengan memasukkan definisi lain dari bekerja yaitu 'apa yang dilakukan / diperbuat' (Kamus Besar Bahasa Indonesia/Balai Pustaka, 1989). Melalui definisi inilah, aktivitas ibu di rumah (termasuk aktivitas menyusui) dapat diartikan sebagai "bekerja". Melalui definisi ini pula, mereka dapat mengadopsi kemandirian.

Dengan redefinisi ini diharapkan para ibu rumah tangga akan merasakan kebanggaan yang luar biasa ketika ia sedang bekerja menyusui anak-anaknya. Kebanggaan itu akan menumbuhkan rasa percaya dirinya. Kondisi ini, selain akan semakin memperlancar keluarnya ASI juga akan membuatnya berani berpendapat bahkan mengambil keputusan.

"Tuntutan" agar aktivitas menyusui juga dianggap sebagai aktivitas bekerja tidaklah mengada-ada. Memang benar bahwa aktivitas menyusui tidak menghasilkan uang. Benar pula bahwa yang 'tampak' dari aktivitas menyusui, yang umumnya dilakukan di rumah, adalah seorang ibu yang sedang duduk santai (bahkan tiduran).

Namun tidaklah benar bila kemudian dianggap sebagai kegiatan yang kontraproduktif, yang tidak berguna, yang membuang-buang waktu. Karena dalam kondisi "santai" tersebut sesungguhnya tubuh seorang ibu berubah menjadi sebuah "pabrik".

Bukankah ketika itu tubuh ibu sedang meramu aneka bahan yang ada dalam tubuhnya yang pada akhirnya dikeluarkan dalam bentuk ASI. Bahkan seandainya asupan makanan ibu kekurangan zat tertentu (kalsium misalnya), tetap saja ASI yang dihasilkannya berkualitas sebab kekurangan zat tersebut (misalnya kalsium) akan diambilkan dari cadangan (yaitu deposit kalsium dalam tulang) yang ada dalam tubuh sang ibu.

Dengan kondisi nyata ini maka sangatlah layak bila aktivitas menyusui juga dianggap sebagai pekerjaan yang produktif. Itu sebabnya dalam bukunya Patriarchy and Accumulation on a World Scale (1986), M Mies berpendapat bahwa seharusnya menyusui tidak hanya dipandang sebagai fungsi fisiologi ataupun reproduktif semata, tetapi juga merupakan kegiatan produktif.

Kedua, memperhitungkan penggunaan waktu dan fisik seorang ibu ketika ia melakukan aktivitas menyusui, sebagai konsekuensi dari proses redefinisi. Hal ini karena sepertihalnya perempuan yang bekerja untuk mendapatkan uang, tubuh seorang ibu mempunyai kemampuan yang terbatas dan mesti "dirawat", baik melalui gizi yang baik maupun istirahat yang cukup.

Ketiga, mengubah ke- biasaan di masyarakat guna memperbaiki kedudukan dan kondisi ibu. Saat ini, dalam hal distribusi pangan dan perawatan kesehatan, masyarakat umumnya masih mendahulukan bapak/suami daripada anak, apalagi ibu walaupun ia sedang hamil / menyusui.

Kebiasaan ini harus diubah dengan menyamakan hak semua anggota keluarga bahkan memprioritaskan ibu ketika ia sedang hamil/ menyusui. Bukankah ketika itu, ibu memerlukan makanan bergizi yang lebih banyak?

Keempat, mengangkat aktivitas ibu di ruang domestik sebagai salah satu persoalan feminis. Langkah ini akan mempercepat realisasi proses redefinisi kata 'ibu bekerja'. Dalam artikelnya, Feminism and Motherhood (1981), Stuart-Hagge mengartikan feminis sebagai suatu kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Menurutnya, seorang perempuan yang memilih peran ibu rumah tangga sebagai karir, bekerja di ruang domestik, sesungguhnya telah memperlihatkan feminisme dalam bentuk yang paling mendasar.


Seharusnya, minimnya atensi terhadap aktivitas menyusui (sebagai bagian dari aktivitas domestik) juga menjadi persoalan feminis. Bukankah aktivitas menyusui dapat mendorong sikap kemandirian perempuan, memantapkan kekuasaan perempuan untuk memutuskan sesuatu mengenai tubuhnya sendiri, menuntut adanya interpretasi baru atas pekerjaan perempuan serta dapat mengurangi subordinasi gender, dengan cara mengikis citra negatif kaum perempuan sebagai objek seks dan konsumen semata.

Kelima, menyosialisasikan agar para suami tidak merasa malu, tidak merasa canggung apalagi merasa rendah bila ia ikut membantu merawat bayinya entah menggendong, menggantikan popok, memandikan, memijat atau ikut menyendawakan bayi (setelah ia menyusu).

Langkah ini akan membuat para suami ikut merasakan beratnya pekerjaan istrinya. Dan tentu saja akan membuat ibu merasa bahwa perawatan anak adalah juga sebuah 'pekerjaan' penting. Apresiasi suami terhadap aktivitas istri di rumah, pada gilirannya akan menumbuhkan harga diri dan rasa percaya diri pada istri.

Dengan langkah-langkah di atas, saya berharap akan tumbuh pemahaman bahwa untuk mempunyai kemandirian, seorang perempuan tidak hanya mempunyai satu jalan, yaitu harus membuktikan bahwa ia mampu mencari uang. Kemandirian seorang perempuan tidak boleh hanya diidentikkan dengan ketidakkebergantungannya dalam hal ekonomi.

Kondisi ini, selain membuatnya mampu memenuhi hak anaknya atas ASI, juga akan membuatnya berani berpendapat, mengambil keputusan dan tentu saja melawan bila ia mengalami kekerasan, apa pun bentuknya.


*Penulis adalah ibu rumah tangga yang sangat berminat pada masalah anak, perempuan dan keluarga.

Sumber: Dirjen HAM, Departemen Hukum & HAM