Berita lama, tetapi patut diketahui bersama.
Gizi.net - Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No 450 tahun 2004 mengenai pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif selama enam bulan pada bayi di Indonesia dinilai tidak efektif mendorong kampanye penggunaan ASI. Karena itu, Kepmenkes tersebut diharapkan dapat ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah (PP).
Demikian salah satu kesimpulan acara Executive Forum Media Indonesia yang bertajuk Pelaksanaan Hukum ASI Eksklusif di kantor Media, kemarin.
Forum yang diisi dialog interaktif itu dipandu Pemimpin Redaksi Media Indonesia Andi Noya dan Agus Pambagio dari Visi Anak Bangsa. Hadir dalam diskusi interaktif itu organisasi perempuan yang peduli akan pemberian ASI eksklusif, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Asosiasi Perusahaan Makanan Bayi (APMB), IBI (Ikatan Bidan Indonesia), IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dan instansi terkait seperti Departemen Kesehatan (Depkes).
Dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes Azrul Azwar, Menteri Kesehatan Achmad Sujudi mengatakan, pemenuhan hak bayi untuk mendapat ASI sebagai satu-satunya makanan terbaik pada enam bulan pertama kehidupan. Karena itu, harus didukung kewajiban ibu untuk menyusui dengan kasih sayang.
Menkes mengatakan untuk mendukung program ASI tersebut, Indonesia telah mengeluarkan sejumlah peraturan. Mulai dari Permenkes No 240 tahun 1985 tentang pendamping ASI, Kepmenkes No 237 tahun 1997 tentang pemasaran pendamping ASI dan Kepmenkes No 450 tahun 2004 tentang pemberian ASI eksklusif pada bayi selama enam bulan.
Namun di lapangan, kata Azrul, Kepmenkes itu dalam implementasinya masih kurang efektif untuk mengatasi pelanggaran terhadap program kampanye ASI yang dilakukan produsen susu formula, dokter anak, bidan, perawat, dan rumah sakit. Pelanggarnya hanya dikenai sanksi administratif. ''Saya sepakat kalau Permenkes itu ditingkatkan menjadi PP atau undang-undang,'' jelasnya.
Soal waktu Permenkes menjadi PP, menurut Azrul, belum dapat memastikan. Sekarang perubahan itu masih dalam proses. Diakuinya, persoalan yang dihadapi sebenarnya bukan pada pangkal aturan semata. ''Ada problem di penegakan hukum dalam aturan yang sudah ada,'' terangnya.
Suara lantang disampaikan Ketua YLKI Indah Suksmaningsih. Dia mengatakan letak masalah yang signifikan berada di tangan pemerintah guna membenahi infrastruktur kesehatan terkait, juga efektivitas pelaksanaan hukum. ''Ini tidak semata soal aturan, tetapi soal etika'' katanya.
Sementara itu, mantan Ketua YLKI Tini Hadad sering menyaksikan terjadi pelanggaran yang dilakukan badan usaha terutama Kempenkes no 237 tahun 1997 tentang pemasaran pengganti ASI. Pelanggaran berupa pemberian susu gratis di pusat pelayanan dan penggunaan gambar bayi pada iklan susunya.
Tini menilai kampanye ASI memang telah berjalan, tetapi gaungnya kalah dibandingkan susu formula. Dia mengharap tenaga kesehatan tidak hanya memberi informasi tentang manfaat ASI eksklusif. Tetapi, tenaga kesehatan juga meyakinkan dan mendorong ibu-ibu untuk memberi ASI bagi bayinya.
Tini juga mengharap peraturan mengenai ASI tidak hanya memberi sanksi administratif, tetapi juga hukum. Sementara Indah mengkritik sejumlah donasi yang diberikan perusahaan susu kepada dokter anak yang menyelenggarakan seminar. Dia merasa yakin donasi itu akan memengaruhi dokter dalam mengampanyekan ASI.
Banyak tidak tahu
Sementara itu, dr Utami Rusli SpA yang dikenal gencar mengampanyekan ASI menilai bukan hanya ibu-ibu, dokter anak dan bidan pun banyak yang belum terlibat breast feeding campaign. ''Masih ada dokter dan tenaga kesehatan yang tidak tahu breast feeding science,'' katanya.
Sebagai Wakil dari IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), Utami mengatakan pihaknya mendukung 100% penggunaan ASI eksklusif enam bulan pertama. Namun, dia mengatakan, Indonesia sebenarnya bisa mencontoh apa yang telah dilakukan Malaysia yang membentuk semacam dewan dari pemerintah yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemberian ASI. Jika terjadi pelanggaran, dewan itu akan memberi peringatan dan sanksi.
Dalam diskusi yang berlangsung hangat itu juga disebutkan bahwa pelanggaran juga melibatkan bidan-bidan. Bahkan, di sejumlah klinik bersalin, bidan yang mampu memenuhi target dari perusahaan susu akan mendapat bonus atau hadiah.
Wakil dari Ikatan Bidan Indonesia, Nuraini Majid mengatakan telah memiliki 80.000 anggota yang tersebar di 30 provinsi. Memang, katanya, bidan merupakan sosok yang sangat dekat dengan ibu melahirkan. Sehingga harapan tinggi program pemberian ASI eksklusif enam bulan berada di tangan para bidan.
Bidan-bidan memang mengetahui soal pemberian ASI. Namun, kata Nuraini, kadang bidan terutama di desa-desa, mereka sering menangani persalinan seorang diri. Biasanya bidan yang dipikirkan pertama bagaimana ibu bisa selamat saat bersalin.
Menurut Nuraini, bidan-bidan itu umumnya mencoba menasihati ibu yang bersalin untuk memberi ASI kepada bayinya dan mengerti manfaat kolostrum. Tetapi, persoalan tidak semudah itu. Sering kali seorang bidan di desa harus menghadapi masalah kultur dan sosial yang dipegang masyarakat setempat.
''Misalnya, bidan tidak bisa berbuat apa ketika bayi yang dilahirkan langsung diberi madu sama neneknya. Untuk itu bidan perlu mendapat bantuan, karena bidan tidak bisa bicara sendiri. Sampai bibirnya tipis pun belum tentu pendapatnya mengenai ASI diterima,'' katanya.
Sementara itu, APMB banyak mendapat hujan kritikan. Menanggapi suara miring, Ketua APMB Victor Ringoringo menyatakan bahwa pihaknya sangat mendukung pemberian ASI eksklusif enam bulan. Tetapi, dia meminta kesediaan pemerintah untuk dapat menyeluruh melihat persoalan termasuk dari segi bisnis. (Drd/YD/V-1)
Sumber: www.gizi.net Dokumen keputusan ini dapat diunduh dari sini.
Kepmenkes No 450/2004 Harus Diubah Jadi PP
2010-03-05T16:19:00+07:00
Rahadian P. Paramita
Kode Etik dan Aturan|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)